Menurut
Ketua KAI, Indra Lubis, Di Filipina dan Jepang terdapat lebih dari satu
organisasi advokat (multi bar). Namun, kode etik advokat bisa
diseragamkan. “Sehingga kualitas profesi bisa tetap terjaga, dan pada saat
bersamaan tidak merampas kemerdekaan berserikat dan berkumpul”. Sulitnya
Advokat di Indonesia disatukan dalam satu wadah, justru menghambat proses
revisi UU Advokat. Hal ini terkait dengan munculnya berbagai konsep mengenai
substansi dari RUU Advokat yang baru..
Ketua Umum BPP PERADIN, Frans Hendra Winarta
mengatakan salah satu hal yang krusial yang perlu diatur dalam revisi UU
Advokat adalah soal pendidikan dan ujian advokat. Menurut dia, pendidikan dan ujian tidak seharusnya dimonopoli oleh satu organisasi advokat agar tidak muncul tudingan komersialisasi atau sekadar mencari keuntungan. Semua organisasi advokat berwenang menggelar pendidikan dan ujian advokat
Hal lain pun diutarakan oleh Otto Hasibuan, Ketua PERADI dan
juga IKADI yang menyatakan ketidaksetujuannya Rancangan Undang-Undang (RUU)
Advokat, karena RUU KUHP dan RUU KUHAP dinilai jauh lebih mendesak daripada RUU
Advokat. Menurutnya, "UU Advokat harus harmonis dengan UU KUHP, sehingga
bila RUU Advokat dibahas lebih dulu, maka bila terjadi ketidakharmonisan dengan
RUU KUHP yang dibahas belakangan akan timbul masalah"
Apapun pendapat para pakar hukum
di atas, jikalau UU Advokat Nomor 8 Tahun 2003 jadi dilakukan revisi, maka yang
harus menjadi sorotan adalah mengenai Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA),
Ujian Advokat sampai pada proses magangnya yang dinilai masih terlalu
"wah", rumit, dan berbelit-belit.
No comments:
Post a Comment