Monday, May 13, 2013

Revisi UU Advokat: Polemik Penyatuan Advokat Indonesia

Revisi UU Advokat dipandang sebagai salah satu upaya menghilangkan friksi organisasi advokat. Selama puluhan tahun, upaya menyatukan organisasi advokat ke dalam wadah tunggal (single bar) tak juga terwujud. Sebagai salah satu penegak hukum, Organisasi Advokat pun tidak boleh melepaskan diri dari payung hukum yaitu Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang".  Oleh sebab itu ketika dilakukan keseragaman kode etik bagi Advokat, seluruh Advokat di Indonesia harus meresponi baik. 

Menurut Ketua KAI, Indra Lubis, Di Filipina dan Jepang terdapat lebih dari satu organisasi advokat (multi bar). Namun, kode etik advokat bisa diseragamkan. “Sehingga kualitas profesi bisa tetap terjaga, dan pada saat bersamaan tidak merampas kemerdekaan berserikat dan berkumpul”. Sulitnya Advokat di Indonesia disatukan dalam satu wadah, justru menghambat proses revisi UU Advokat. Hal ini terkait dengan munculnya berbagai konsep mengenai substansi dari RUU Advokat yang baru.

Ketua Umum BPP PERADIN, Frans Hendra Winarta mengatakan salah satu hal yang krusial yang perlu diatur dalam revisi UU Advokat adalah soal pendidikan dan ujian advokat. Menurut dia, pendidikan dan ujian tidak seharusnya dimonopoli oleh satu organisasi advokat agar tidak muncul tudingan komersialisasi atau sekadar mencari keuntungan. Semua organisasi advokat berwenang menggelar pendidikan dan ujian advokat

Hal lain pun diutarakan oleh Otto Hasibuan, Ketua PERADI dan juga IKADI yang menyatakan ketidaksetujuannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Advokat, karena RUU KUHP dan RUU KUHAP dinilai jauh lebih mendesak daripada RUU Advokat. Menurutnya, "UU Advokat harus harmonis dengan UU KUHP, sehingga bila RUU Advokat dibahas lebih dulu, maka bila terjadi ketidakharmonisan dengan RUU KUHP yang dibahas belakangan akan timbul masalah"