Wednesday, February 20, 2013

Eksistensi Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia : Sektor Perbankan(1)

Sejak dibentuknya lembaga independen yang bertugas mengawasi sektor jasa keuangan yang dikenal dengan Otoritas Jasa Keuangan muncul banyak polemik mengenai eksistensinya. Otoritas Jasa Keuangan lahir dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Dalam perkembangannya, Bank sebagai suatu lembaga keuangan selalu diperhadapkan pada persaingan yang ketat baik dalam menghimpun dana dan menyalurkan kembali pada masyarakat. Menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong penyedia jasa keuangan (dalam hal ini bank, red) akhirnya meningkatkan layanan jasa keuangan dengan berbagai instrumen secara cepat dan efisien. Artinya untuk dapat bertahan, berbagai jasa bank dan produk bank ditawarkan guna menarik nasabah sebanyak mungkin. Akan tetapi justru dengan keunggulan tersebut, banyak pihak yang memanfaatkan bank sebagai sarana dan sasaran kejahatan. Upaya memberikan kenyamanan dan kemudahan bagi nasabah menyebabkan resiko terjadinya kejahatan perbankan yang semakin meningkat. Bahkan kerahasian bank yang menjadi jiwa perbankan pun tidak terjamin keamanannya karena yang terjadi justru kejahatan-kejahatan yang dilakukan sendiri oleh orang dalam atau yang dikenal dengan istilah white collar crime. Akibatnya banyak dana nasabah yang dibobol dan berdampak terjadi ketidakpercayaan oleh nasabah terhadap bank. Posisi bank dengan sistem keamanan yang lemah menyebabkan banyak terjadi kejahatan perbankan.

Sanksi yang dijatuhkan Bank Indonesia pada Citibank dan Bank Mega pada Mei 2011 setidaknya mengajarkan tiga hal. Pertama, rawannya bank terhadap ancaman kejahatan. Kedua, lemahnya pengawasan internal bank. Ketiga, rendahnya etika profesi para bankir. Banyak kejahatan perbankan terjadi dalam beberapa tahun terakhir mengindikasikan mengenai kelemahan pengawasan internal dari bank sentral serta rendahnya kualitas pejabat bank. Sebut saja Robert Tantular, pemegang saham Bank Century dipidana penjara selama 9 (Sembilan) tahun dan denda sebesar Rp 100 Milyar. Menurut Mahkamah Agung, Robert Tantular telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melanggar Pasal 50A UU Perbankan. Ada juga kisah Hesham Talaat Moehammad Besheer Alwarraq, Wakil Komisaris Utama dan Pemegang Saham Kendai Pt. Bank Century – kini dikenal Bank Mutiara, dihukum (in absentia) selama 15 tahun penjara dan Rp 3,2 Trilyun karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Dan yang paling santer dibicarkan adalah tindakan pembobolan dana nasabah Citibank oleh Senior Relationship Manager Citibank, Inong Malinda Dee yang dalam catatan Jaksa Tatang Sutarna pada Pengadilan Tinggi Jakarta Selatan, ada setidaknya 56 transfer illegal dari rekening nasabah selama kurun waktu 4 tahun dengan kerugian mencapai 45 milyar rupiah.


Serangkaian peristiwa diatas mendeskripsikan tentang kejahatan perbankan yang terus terjadi dalam dunia perbankan karena lemahnya kontrol atau pengawasan dari bank sentral. Pada mulanya Bank Indonesia merupakan lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Bank Indonesia bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang. Pasal 8 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia merupakan pasal yang tidak mengalami perubahan mengatur bahwa salah satu tugas bank Indonesia adalah mengatur dan mengawasi bank. Realitanya, Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam menjalankan tugas pengawasan terhadap bank sering mengalami kesalahan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya terjadi kasus kejahatan perbankan yang akhirnya merugikan masyarakat dan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap bank, misalnya kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), Skandal Century maupun Skandal Bank Bali. Kasus-kasus kejahatan di dunia perbankan menorehkan sejarah lemahnya pengawasan bank sentral sehingga berimplikasi pada akselerasi pembentukan sebuah lembaga keuangan yang dapat bertanggung jawab atas krisis keuangan yang dihadapi perekonomian negara.
 
Ketentuan pengawasan bank sebelum adanya Otoritas Jasa Keuangan adalah merupakan suatu ketentuan yang berada dalam satu sistem hukum Bank Indonesia. Pembentukan lembaga otoritas keuangan ini sendiri merupakan trend pemisahan pengawasan di negara maju. Selain itu lembaga ini merupakan hasil pikir pemerintah akibat krisis 1998 yang mana telah membuat pemerintah mengeluarkan dana rekapitalisasi Rp 420 trilyun dan dipandang sebagai salah satu kegagalan terbesar dari Bank Indonesia dalam melakukan kegagalan. Dalam perubahan pertama undang-undangnya, Bank Indonesia sebagai Bank Sentral mengamanatkan dalam Pasal 34 UU BI agar dibentuk suatu lembaga pengawasan jasa sektor keuangan yang selambat-lambatnya 31 Desember 2010. Pasal 34 Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia merupakan respon dari krisis Asia yang terjadi pada tahun 1997-1998 yang berdampak sangat berat terhadap Indonesia, khususnya pada sektor perbankan. Krisis pada tahun 1997-1998 yang melanda Indonesia mengakibatkan banyaknya bank-bank yang mengalami kolaps sehingga banyak yang mempertanyakan pengawasan Bank Indonesia terhadap bank-bank.

Menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang senantiasa bergerak cepat, kompetitif, dan terintegrasi sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maka Bank Indonesia memerlukan penyesuaian. Penyesuaian ini sangat diperlukan khususnya dalam melaksanakan pasal 34 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia yaitu menghadapi kehadiran Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga yang mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan termasuk didalamnya sektor Perbankan sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.


Pertanyaan kritis yang muncul, apakah peralihan fungsi pengawasan bank dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan dapat menjamin stabilitas moneter dan keuangan ????? 
 
Update 2017
Eksistensi OJK di Indonesia pada November 2017 memasuki tahun ke-6. Melihat eksistensi OJk kurang lebih 3 (tiga) tahun setelah artikel ini dibuat, rasanya patut diacungi jempol. Setiap lembaga negara memiliki fungsi dan wewenangnya serta pengaturan rumah tangganya masing-masing. Dalam menjalankan fungsi pengawasan bank tidak terlihat adanya tumpang tindih pengawasan. 
Disadur dari situs OJK, kewenangan melakukan pengawasan oleh OJK meliputi:
  1. Kewenangan memberikan izin (right to license), yaitu kewenangan untuk menetapkan tatacara perizinan dan pendirian suatu bank. Cakupan pemberian izin oleh OJK meliputi pemberian izin dan pencabutan izin usaha bank, pemberian izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank, pemberian persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank, pemberian izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu.
  2. Kewenangan untuk mengatur (right to regulate), yaitu kewenangan untuk menetapkan ketentuan yang menyangkut aspek usaha dan kegiatan perbankan dalam rangka menciptakan perbankan sehat yang mampu memenuhi jasa perbankan yang diinginkan masyarakat.
  3. Kewenangan untuk mengawasi (right to control), yaitu kewenangan melakukan pengawasan bank melalui pengawasan langsung (on-site supervision) dan pengawasan tidak langsung (off-site supervision). Pengawasan langsung dapat berupa pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus,yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang keadaan keuangan bank dan untuk memantau tingkat kepatuhan bank terhadap peraturan yang berlaku serta untuk mengetahui apakah terdapat praktik-praktik yang tidak sehat yang membahayakan kelangsungan usaha bank. Pengawasan tidak langsung yaitu pengawasan melalui alat pemantauan seperti laporan berkala yang disampaikan bank,laporan hasil pemeriksaan dan informasi lainnya. Dalam pelaksanaannya, apabila diperlukan OJK dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank termasuk pihak lain yang meliputi perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi dan debitur bank. OJK dapat menugasi pihak lain untuk dan atas nama OJK melaksanakan tugas pemeriksaan.
  4. Kewenangan untuk mengenakan sanksi (right to impose sanction), yaitu kewenangan untuk menjatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan terhadap bank apabila suatu bank kurang atau tidak memenuhi ketentuan. Tindakan ini mengandung unsur pembinaan agar bank beroperasi sesuai dengan asas perbankan yang sehat.
Fungsi pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan diatur dalam Pasal 7 UU OJK. Apabila kita hanya membaca pasal ini tanpa melihat isi penjelasan Pasal 7 di bagian penjelasan, maka paradigma yang muncul adalah wewenang OJK dalam mengatur dan mengawasi perbankan seperti wewenang mutlak. Pada bagian penjelasa, dijelaskan bahwa: 
“Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-hatian, dan pemeriksaan bank merupakan lingkup pengaturan dan pengawasan microprudential yang menjadi tugas dan wewenang OJK. Adapun lingkup pengaturan dan pengawasan microprudential, yakni pengaturan dan pengawasan selain hal yang diatur dalam pasal ini, merupakan tugas dan wewenang Bank Indonesia. Dalam rangka pengaturan dan pengawasan microprudential, OJK membantu Bank Indonesia untuk melakukan himbauan moral (moral suasion) kepada Perbankan.”

Berdasarkan amanat dalam UU OJk itulah nampak batasan kewenangan antara BI dan OJK dalam pengaturan dan pengawasan Bank, yaitu Bank Indonesia berwenang mengatur dan mengawasi perbankan dari sisi macroprudential, sedangkan OJK peran pengawasannya berada pada sisi microprudential. Sisi macroprudential yaitu terpusat pada sistem perbankan yang digunakan secara keseluruhan. Tujuannya untuk kebijakan moneter. Pada pengaturan dan pengawasan microprudential, pengawasan dilakukan kepada bank-bank secara individual dan menghindari masalah individual lembaga perbankan dalam rangka melindungi kepentingan nasabah.





Sumber :
- UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia
- Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
- Berbagai buku tentang Hukum Perbankan
- Berbagai berita tentang Maraknya kejahatan Perbankan.













No comments:

Post a Comment