Hai
para lawers, let’s talk mengenai pencabutan hak politik terpidanana
kasus korupsi. Seluruh tulisan saya ini hasil kajian atas isu hukum dan
studi pusataka.Kontribusi pustaka terbesar untuk artikel ini adalah
online media, KUHP, pendapat ahli, dan laporan kerja tahunan KPK.
Pendahuluan
Di awal tahun 2017, dunia hukum Indonesia digemparkan dengan salah satu kasus korupsi terbesar. Ditengah banyaknya isu politik bernuansa SARA pada Pilgub DKI Jakarta, muncul kasus korupsi besar yang cukup menyita perhatian publik. Kinerja KPK terkadang mengalami fluktuasi bagaikan harga ekonomi. Tetapi di tahun 2017, KPK patut diberikan apresiasi atas pencapaian menguak kasus Korupsi e-KTP dan menetapkan beberapa tersangka. Sebagai masyarakat, kita sungguh menyadari bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi terus melakukan berbagai usaha untuk memberantas korupsi. Di tahun 2016, Koordinasi dan Supervisi Bidang Pencegahan KPK bersinergi dengan bidang penindakan untuk menggali banyak data dan fakta. Dari sisi pengawasan, KPK telah membuat surat edaran kepada Kepala Desa berupa Surat Edaran terkait Dana Desa.
Kerja keras dari KPK sebagai lembaga negara yang independen ini merupakan bentuk upaya memberantas korupsi sampai ke akarnya. Dalam laporan kerja KPK tahun 2016, KPK menjelaskan bahwa Komisi ini telah meluncurkan e-LHKPN atau laporan harta kekayaan negara berbasis elektronik. Tujuannya untuk mempermudah masyarakat dalam mengakses informasi terkait. KPK menjalankan sistem ini didasarkan kepada penyelenggara negara yang masih “enggan” melaporkan harta kekayaannya. Bahkan “efek jera” melihat para korupot dihukum tidak menjadi bumerang bagi pejabat negara lainnya. Terbukti dengan masih maraknya kasus korupsi dimana-mana.
Korupsi selalu menjadi pembahasan publik. Setiap kasus yang mencuat bagaikan gelombang air bah yang menghantam masyarakat. Mempertontonkan tindakan keji para pejabat negara yang menyalahgunakan jabatannya demi kekayaan semu. Merujuk pada laporan KPK 2016, dalam kurun waktu 2004-2017 (12 tahun), 32% kasus yang ditangani KPK adalah aktor politik. Uraian kasus dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Saya menyajkan data kasus korupsi dari kalangan aktor politik ini disebabkan rasa emosional yang mendalam. Apakah para koruptor dari kalangan politikus ini cacat mental? Saya katakan ‘koruptor’ hanya bagi yang korupsi. Bagi politikus yang bersih dan murni hatinya, not dealing with. Tragis. Ironis. Memalukan. Gila. Sakit jiwa. Bagaimana tidak, mereka dengan mulut manis mengucapkan janji-janji surga dan masyarakat memberikan suaranya. Harusnya mereka membaktikan dirinya untuk pembangunan di daerah terpilih. Bukan menggunakan jabatan dan kekuasaan untuk kepentingan pribadi melalui praktek korupsi. Ada suatu paham yang percaya bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. Para politikus adalah wakil Tuhan untuk menyuarakan keadilan dan menjadi mediator rakyat dengan pemerintah. Tetapi ketika menempati singgasana nan mewah, banyak di antara mereka yang melupakan hal itu.
Penyalahgunaan jabatan dengan praktek korupsi di kalangan aparatur pemerintah maupun pejabat publik tak pernah surut. Bagaimana tidak, dari tahun ke tahun kasus korupsi para pejabat berdasi terus berlangsung. Ironisnya praktek korupsi dianggap hal yang lumrah. Para penjahat berdasi seakan tidak malu menggunakan uang rakyat.
Di awal tahun 2017, dunia hukum Indonesia digemparkan dengan salah satu kasus korupsi terbesar. Ditengah banyaknya isu politik bernuansa SARA pada Pilgub DKI Jakarta, muncul kasus korupsi besar yang cukup menyita perhatian publik. Kinerja KPK terkadang mengalami fluktuasi bagaikan harga ekonomi. Tetapi di tahun 2017, KPK patut diberikan apresiasi atas pencapaian menguak kasus Korupsi e-KTP dan menetapkan beberapa tersangka. Sebagai masyarakat, kita sungguh menyadari bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi terus melakukan berbagai usaha untuk memberantas korupsi. Di tahun 2016, Koordinasi dan Supervisi Bidang Pencegahan KPK bersinergi dengan bidang penindakan untuk menggali banyak data dan fakta. Dari sisi pengawasan, KPK telah membuat surat edaran kepada Kepala Desa berupa Surat Edaran terkait Dana Desa.
Kerja keras dari KPK sebagai lembaga negara yang independen ini merupakan bentuk upaya memberantas korupsi sampai ke akarnya. Dalam laporan kerja KPK tahun 2016, KPK menjelaskan bahwa Komisi ini telah meluncurkan e-LHKPN atau laporan harta kekayaan negara berbasis elektronik. Tujuannya untuk mempermudah masyarakat dalam mengakses informasi terkait. KPK menjalankan sistem ini didasarkan kepada penyelenggara negara yang masih “enggan” melaporkan harta kekayaannya. Bahkan “efek jera” melihat para korupot dihukum tidak menjadi bumerang bagi pejabat negara lainnya. Terbukti dengan masih maraknya kasus korupsi dimana-mana.
Korupsi selalu menjadi pembahasan publik. Setiap kasus yang mencuat bagaikan gelombang air bah yang menghantam masyarakat. Mempertontonkan tindakan keji para pejabat negara yang menyalahgunakan jabatannya demi kekayaan semu. Merujuk pada laporan KPK 2016, dalam kurun waktu 2004-2017 (12 tahun), 32% kasus yang ditangani KPK adalah aktor politik. Uraian kasus dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Jenis
Kasus
|
Jumlah
Kasus
|
Pengadaan Barang & Jasa
|
148
|
Perizinan
|
20
|
Pencucian Uang
|
17
|
Pungutan
|
21
|
Total
|
206
|
Saya menyajkan data kasus korupsi dari kalangan aktor politik ini disebabkan rasa emosional yang mendalam. Apakah para koruptor dari kalangan politikus ini cacat mental? Saya katakan ‘koruptor’ hanya bagi yang korupsi. Bagi politikus yang bersih dan murni hatinya, not dealing with. Tragis. Ironis. Memalukan. Gila. Sakit jiwa. Bagaimana tidak, mereka dengan mulut manis mengucapkan janji-janji surga dan masyarakat memberikan suaranya. Harusnya mereka membaktikan dirinya untuk pembangunan di daerah terpilih. Bukan menggunakan jabatan dan kekuasaan untuk kepentingan pribadi melalui praktek korupsi. Ada suatu paham yang percaya bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. Para politikus adalah wakil Tuhan untuk menyuarakan keadilan dan menjadi mediator rakyat dengan pemerintah. Tetapi ketika menempati singgasana nan mewah, banyak di antara mereka yang melupakan hal itu.
Penyalahgunaan jabatan dengan praktek korupsi di kalangan aparatur pemerintah maupun pejabat publik tak pernah surut. Bagaimana tidak, dari tahun ke tahun kasus korupsi para pejabat berdasi terus berlangsung. Ironisnya praktek korupsi dianggap hal yang lumrah. Para penjahat berdasi seakan tidak malu menggunakan uang rakyat.
Kejahatan pidana yang satu ini pantas menyandang status sebagai kejahatan luar biasa atau extra-ordinary crime dikarenakan uang yang seharusnya dipakai untuk pembangunan nasional ‘dimakan’untuk kepentingan pribadi. Gaya hidup para koruptor selalu mewah dengan harta kekayaan yang berlimpah. Mengendarai mobil berharga minimal setengah milyar, makan di restoran mewah, melancong ke luar negeri, menempati rumah milyaran rupiah, dan gaya hidup mewah lainnya adalah bentuk kemewahan yang dirasakan oleh para koruptor dengan uang ‘curiannya’. Bukankah kerugian-kerugian negara hasil korupsi ini dapat digunakan untuk ‘melihat’ fakir miskin?????? Banyak koruptor hidup di rumah megah dan mahal, tapi banyak juga rakyat jelata yang hidup di bawah kolong jembatan.
Sebagai bentuk tindakan pencegahan dini dibutuhkan kerja keras KPK, baik itu melalui edukasi, komunikasi massa, maupun penerapan sistem yang efektif. Salah satu Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi pada tahun 2013 menegaskan bahwa KPK sedang dalam proses menerapkan pidana tambahan kepada terdakwa pidana korupsi yaitu pencabutan hak politik ketika yang bersangkutan terbukti bersalah dan dijatuhi vonis. Tujuannya untuk menciptakan pejabat publik yang bersih. Wacana seputar pencabutan hak politik terpidana korupsi ini mencuat kembali ke permukaan di awal 2017, ketika topik putusan pencabutan hak politik IG oleh Tipikor Jakarta Pusat ramai diperbincangkan.
Indonesian Corruption Watch (ICW) mempertanyakan eksistensi penerapan pencabutan hak politik tersebut. Mereka melihat minimnya putusan piana tambahan berupa pencabutan hak politik kepada terdakwa korupsi oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pemantauan ICW selama 2016 dari 573 putusan kasus Tipikor, hanya ada tujuh putusan yang memvonis terdakwa dengan pidana tambahan yakni pencabutan hak politik. Dari salah satu portal berita online, ditulis bahwa Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Aradila Caesar menilai jumlah tersebut sangat kecil jika dibandingkan jumlah terdakwa korupsi sepanjang 2016 sekitar 632 terdakwa. Menurutnya, pencabutan hak politik menjadi hukuman yang penting diberlakukan, mengingat pelaku-pelaku korupsi seringkali berasal dari wilayah politik dan cenderung ketika selesai menjalani hukuman penjara masih bisa mencalonkan kembali menjadi kepala daerah maupun anggota legislatif. Terkait dengan topik putusan Hakim Tipikor atas terdakwa IG, sebagian pihak mengapresiasi putusan tersebut yang dinilai menegakkan hukum, sedangkan lainnya justru menganggap putusan tersebut telah melanggar hak asasi manusia.
Masalah
Berdasarkan pemaparan di atas, yang menjadi permasalahan yang ingin dibahas dari segi hukum pidana dan hak asasi manusia adalah:
- Apakah pencabutan hak politik terpidana korupsi sah berdasarkan hukum?
- Sejauh manakah pencabutan hak politik ini dianggap melanggar HAM?
Pembahasan
Secara umum, berdasarkan aturan dalam KUHP, pidana diklasifikasikan dalam 2 (dua) jenis yaitu pidana pokok da pidana tambahan sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pidana pokok terbagi atas pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan. Pidana tambahan terdiri dari pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. Pencabutan hak tertentu sebagai bagian dari pidana tambahan diatur Pasal 35 ayat (1) KUHP mengatur bahwa :
“1) Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah:
1. hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;
2. hak memasuki Angkatan Bersenjata;
Secara umum, berdasarkan aturan dalam KUHP, pidana diklasifikasikan dalam 2 (dua) jenis yaitu pidana pokok da pidana tambahan sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pidana pokok terbagi atas pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan. Pidana tambahan terdiri dari pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. Pencabutan hak tertentu sebagai bagian dari pidana tambahan diatur Pasal 35 ayat (1) KUHP mengatur bahwa :
“1) Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah:
1. hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;
2. hak memasuki Angkatan Bersenjata;
3. hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum.
4. hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri;
5. hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri;
6. hak menjalankan mata pencarian tertentu.
Pada prinsipnya pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan tanpa pidana pidana pokok, karena bersifat suplemental dari hukuman pokok. Pengecualian pidana tambahan tanpa pidana pokok hanya untuk putusan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 KUHP apabila terdakwa yang dihukum tidak waras atau anak di bawah umur.
5. hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri;
6. hak menjalankan mata pencarian tertentu.
Pada prinsipnya pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan tanpa pidana pidana pokok, karena bersifat suplemental dari hukuman pokok. Pengecualian pidana tambahan tanpa pidana pokok hanya untuk putusan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 KUHP apabila terdakwa yang dihukum tidak waras atau anak di bawah umur.
Lamanya pencabutan hak-hak tertentu dijelaskan dalam Pasal 38 KUHP yaitu :
(1) Jika dilakukan pencabutan hak, hakim menentukan lamanya pencabutan sebagai berikut:
1. dalam hal pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, lamanya pencabutan seumur hidup;
2. dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau pidana kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya;
3. dalam hal pidana denda, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun.
(2) Pencabutan hak mulai berlaku pada hari putusan hakim dapat dijalankan.
Posisi hakim dalam membuat sebuah putusan atas seorang terdakwa tidaklah mudah. Tugas hakim adalah sebuah tugas mulia yang berat. Hakim harus menemukan unsur-unsur yang memenuhi hukum pidana untuk memutuskan apakah seorang terdakwa bersalah atau tidak. Pasal 27 UUD NRI 1945 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang mandiri dan bebas. Oleh karenanya nyatalah bahwa hakim dalam menjalankan tugasnya bebas dari intervensi siapapun. Kekuasaan hakim yang mandiri dan bebas ini bertujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan sesuai amanat Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Meskipun bebas, dalam memutuskan suatu perkara, hakim haruslah berpedoman pada sumber hukum yang berlaku. Dalam memutuskan perkara korupsi, hakim berdasarkan pada peraturan perundang-undangan mengenai korupsi yang berlaku.
Dalam UU Pemberantasan Tipikor, bisa dikatakan bahwa hukuman penjara menjadi imperatif, artinya pidana penjara dan denda adalah pidana pokok. Tetapi selain pidana pokok, ada beberapa pidana tambahan lainnya, misalnya perampasan benda bergerak, pembayaran uang pengganti yang besarnya sama dengan harta benda hasil korupsi, penutupan perusahaan, dan pencabutan hak-hak tertentu. Seperti dijelaskan di atas, salah satu hak tertentu yang dapat dicabut dengan putusan hakim adalah hak politik yaitu hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu; hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum
Hak politik merupakan bagian dari hak asasi manusia. Secara harfiah, hak asasi adalah hak dasar atau hak pokok. Menurut UU Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 1 Angka 1, hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang wajib di hormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan ahrkat dan martabat manusia.
Dasar fundamental hak asasi manusia di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesa tahun 1945 pasal 28A sampai 28J. Dengan menghormati dasar negara, maka setiap warga negara wajib pula untuk menjunjung tinggi penegakkan HAM.
Hak politik dalam bingkai hukum asasi manusia di Indonesia diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 sebagaimana tercantum dalam Pasal 23 ayat (1) yaitu “Setiap orang berhak untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya”. Selanjutnya hak politik seorang warga negara dipertegas dalam Pasal 43 ayat (1) “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Dalam sidang PBB tahun 1948 dideklarasikan deklarasi hak asasi manusia atau Universal Declaration of Human Rights (DUHAM). Deklarasi tersebut merumuskan bahwa:
Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikarunia akal dan hati nurani, dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan; Setiap orang berhak atas setiap hak dan kebebasan yang tercantum dalam deklarasi tanpa terkecuali, seperti perbedaan ras, warna kulit, etnis kelamin, bahasa, agama, dan politik; Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu.
Pengaturan hak asasi manusia pada awalnya diatur dalam Ketetapan MPR Tahun 1998, dirumuskan bahwa hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal dan abadi sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa.
(1) Jika dilakukan pencabutan hak, hakim menentukan lamanya pencabutan sebagai berikut:
1. dalam hal pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, lamanya pencabutan seumur hidup;
2. dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau pidana kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya;
3. dalam hal pidana denda, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun.
(2) Pencabutan hak mulai berlaku pada hari putusan hakim dapat dijalankan.
Posisi hakim dalam membuat sebuah putusan atas seorang terdakwa tidaklah mudah. Tugas hakim adalah sebuah tugas mulia yang berat. Hakim harus menemukan unsur-unsur yang memenuhi hukum pidana untuk memutuskan apakah seorang terdakwa bersalah atau tidak. Pasal 27 UUD NRI 1945 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang mandiri dan bebas. Oleh karenanya nyatalah bahwa hakim dalam menjalankan tugasnya bebas dari intervensi siapapun. Kekuasaan hakim yang mandiri dan bebas ini bertujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan sesuai amanat Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Meskipun bebas, dalam memutuskan suatu perkara, hakim haruslah berpedoman pada sumber hukum yang berlaku. Dalam memutuskan perkara korupsi, hakim berdasarkan pada peraturan perundang-undangan mengenai korupsi yang berlaku.
Dalam UU Pemberantasan Tipikor, bisa dikatakan bahwa hukuman penjara menjadi imperatif, artinya pidana penjara dan denda adalah pidana pokok. Tetapi selain pidana pokok, ada beberapa pidana tambahan lainnya, misalnya perampasan benda bergerak, pembayaran uang pengganti yang besarnya sama dengan harta benda hasil korupsi, penutupan perusahaan, dan pencabutan hak-hak tertentu. Seperti dijelaskan di atas, salah satu hak tertentu yang dapat dicabut dengan putusan hakim adalah hak politik yaitu hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu; hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum
Hak politik merupakan bagian dari hak asasi manusia. Secara harfiah, hak asasi adalah hak dasar atau hak pokok. Menurut UU Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 1 Angka 1, hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang wajib di hormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan ahrkat dan martabat manusia.
Dasar fundamental hak asasi manusia di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesa tahun 1945 pasal 28A sampai 28J. Dengan menghormati dasar negara, maka setiap warga negara wajib pula untuk menjunjung tinggi penegakkan HAM.
Hak politik dalam bingkai hukum asasi manusia di Indonesia diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 sebagaimana tercantum dalam Pasal 23 ayat (1) yaitu “Setiap orang berhak untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya”. Selanjutnya hak politik seorang warga negara dipertegas dalam Pasal 43 ayat (1) “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Dalam sidang PBB tahun 1948 dideklarasikan deklarasi hak asasi manusia atau Universal Declaration of Human Rights (DUHAM). Deklarasi tersebut merumuskan bahwa:
Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikarunia akal dan hati nurani, dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan; Setiap orang berhak atas setiap hak dan kebebasan yang tercantum dalam deklarasi tanpa terkecuali, seperti perbedaan ras, warna kulit, etnis kelamin, bahasa, agama, dan politik; Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu.
Pengaturan hak asasi manusia pada awalnya diatur dalam Ketetapan MPR Tahun 1998, dirumuskan bahwa hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal dan abadi sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa.
Korupsi sudah dianggap sebagai kejahatan luar biasa atau extra ordinary crimes karena dampaknya sangat besar bagi Negara. Uang hasil korupsi yang merupakan uang negara seharusnya dipakai untuk pembangunan nasional baik di bidang ekonomi, sosial, budaya, maupun pendidikan. Terhambatnya pembangunan nasional juga turut menghambat Indonesia menuju negara maju. Ini sebabnya Indonesia tetap dikatagorikan sebagai negara berkembang.
Menurut Dr. Indrianto Seno Aji, salah satu pakaryang menggodok UU Tipikor, berkaitan dengan doktrin International Covenant Economic and Social Right yang menyatakan bahwa tindak pidana korupsi itu dapat dimasukkan dalam kriteria pelanggaran HAM berat dan termasuk dalam gross violation of human rights.
Komnas HAM menyimpulkan bahwa korupsi adalah pelanggaran HAM berat. Hal itu diungkapkan oleh pelapor Khusus tentang Korupsidan Hak Asasi Manusia Komnas HAM RI, Manager Nasution. Menurutnya pelanggaran HAM akibat dari tindak korupsi, di samping berdampak terhadap pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya bagi masyarakat, juga bisa menyebabkan munculnya kemiskinan, kekurangan gizi, anak-anak putus sekolah, ketiadaan lapangan kerja, dan lain-lain.
Putusan terpidana korupsi dengan pidana tambahan pencabutan hak politik dapat kita lihat pada kasus Djoko Susilo, Luthfi Hasan, Irman Gusman, maupun Rachmat Yasin. Putusan hakim yang dijatuhi kepada mereka diikuti dengan pidana tambahan yaitu pencabutan hak politik. Pencabutan hak politik terpidana korupsi yang melakukan kejahatan luar biasa seharusnya tidak dianggap sebagai pelanggaran HAM karena dibolehkan oleh hukum. Selain itu, seorang koruptor yang melakukan tindakan kejahatan 'memakan' uang rakyat adalah perbuatanyang melanggar hak asasi manusia di Indonesia.
Penutup
- Pencabutan hak politikPidana korupsi yang diatur dalam UU Tipikor ancaman hukumannya pasti diatas lima tahun sehingga telah memenuhi kualifikasi minimal 2 (dua) tahun dan maksimal 5 (lima) tahun.
- Pencabutan hak politik sepanjang dibolehkan atau diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan bukanlah merupakan pelanggaran HAM. Dalam kaitannya dengan kasus korupsi, selain diatur dalam UU Tipikor, kejahatan korupsi telah meluluhlantahkan sendi-sendi kehidupan masayarakat Indonesia dan merupakan pelanggaran HAM, karenanya pencabutan hak politik terpidana koruptor seharusnya berlaku seperti hukum alam bagi pelakunya. Bagaikan mata diganti mata, pencabutan hak politik harus dianggap sebagai hal yang pantas dan adil bagi terpidana korupsi (koruptor) sebagai akibat dari pelanggaran HAM di Indonesia.
Sumber :
HAM go.id
KUHP
Hukumonline
Baca juga:
Eksitensi OJK Di Indoensia
Tugas dan Wewenang Penuntutan Oleh KPK
Undang-Undang Ormas: Instrumen Pengontrol
No comments:
Post a Comment