Bab I
Pendahuluan
Pendahuluan
a.
Latar
Belakang
Proses
pembangunan nasional yang sedang dilaksanakan merupakan rangkaian kegiatan
pembangunan mencakup berbagai dimensi, termasuk pembangunan hukum yang
merupakan subsistem yang patut mendapat perhatian pemerintah dan aparatur
penegak hukum. Hal ini disebabkan karena aspek hukum merupakan pilar berdirinya
NKRI.
Penegakan hukum
merupakan proses pelaksanaan hukum secara konkrit dalam kehidupan masyarakat.
Pelaksanaan hukum dalam masyarakat selain tergantung dari kesadaran hukum juga
sangat ditentukan oleh para penegaknya. Peraturan hukum tidak terlaksana dengan
baik disebabkan oleh aparat penegak hukum tidak melaksanakan ketentuan hukum
dengan cara yang semestinya. Dalam kaitan dengan ini maka Menurut J.E.
sahetapy, berbicara tentang hukum rasanya tidaklah begitu sulit. Bertindak
sesuai dengan hukum acapkali tidak mudah, tetapi yang paling sulit adalah
menapik hukum yang tidak benar, adil, dan sewenang-wenang.
Demikian
halnya penegakan hukum terkait dengan tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme. Upaya
meminimalkan tindak pidana korupsi sudah menjadi perhatian bangsa Indonesia.
Hal ini dapat dilihat dari upaya pemerintah mengeluarkan peraturan
perundang-undangan mengenai Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan undang-undang
ini pemerintah pada masa pemerintahan Soeharto telah membentuk Komisi 4 dan
Komisi Anti Korupsi yang terdiri dari aktivis mahasiswa eksponden.
Pada
tahun 1977, pemerintah pada masa kepemimpinan Soeharto melancarkan Operasi
Penertiban (OSTIB). OPSTIB merupakan gabungan dari unsur kepolisian, kejaksaan,
dan militer sebagai aparatur negara. Kemudian
pemerintah mengeluarkan undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Bersih dan Bebas Dari KKN, setelah itu
dibentuk Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN).
Dalam
rangka mewujudkan supremasi hukum, pemerintah pada era Megawati sebagai
Presiden, berdasarkan UU No.30 Tahun 2002 membentuk Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) yang merupakan lembaga independen
dengan tujuan pemberantasan korupsi dengan menjalankan tugasnya berasas pada
kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan
proporsionalitas. Dalam menjalankan tugasnya berdaarkan UU, KPK berfungsi
sebagai pemicu pemberdayaan institusi yang tekah ada dan dalam keadaan tertentu
dapat mengambil alih tugas dan wewenang yaitu penyelidikan, penyidikan,
penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh Kepolisian dan Kejaksaan.
Pada
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudiyhono, dalam program 100 hari
pemerintahannya ditandai dengan pembentukan Tim Pemburu Koruptor dan Tim
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TIMTAS TIPIKOR) yang dibentuk berdasarkan
Keppres Nomor 11 Tahun 2005, walaupun keberadaan lembaga dan tim pemberantas
korupsi lainnya tidak menghambat aktivitas KPK dalam menjalankan fungsi dan
perannya.
Berdasarkan
peraturan yang terdapat dalam UU, KPK merupakan lembaga tertinggi (Super
Agency) dan kewenangan (Powerfull) diharapkan dapat menjadi satu-satunya dan
lembaga terakhir dalam pemberantasa korupsi. OLeh karena itu, berdasarkan
uraian diatas, maka kami tertarik untuk melakukan penulisan dengan judul “MENINJAU
KEMBALI TUGAS DAN WEWENANG PENUNTUTAN OLEH KPK DAN KEJAKSAAN DALAM RANGKA
PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA”
Bab II
Pembahasan
a. Konsep KKN
Dalam ajaran klasik, korupsi
merupakan persoalan klasik yang telah lama ada. Sejarawan Onghokham menyebutkan bahwa korupsi ada ketika orang mulai
melakukan pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan umum. Menurut
Onghokham pemisahan keuangan tersebut tidak ada dalam konsep kekuasaan
tradisional. Dengan kata lain korupsi mulai dikenal saat sistem politik modern
dikenal. Konsepsi mengenai korupsi baru timbul setelah adanya pemisahan antara
kepentingan keuangan pribadi dari seorang pejabat negara dan keuangan
jabatannya.
Prinsip ini muncul di Barat setelah
adanya Revolusi Perancis dan di negara-negara Anglo-Sakson, seperti Inggris dan
Amerika Serikat, timbul pada permulaan abad ke-19. Sejak itu penyalahgunaan
wewenang demi kepentingan pribadi, khususnya dalam soal keuangan, dianggap
sebagai tindak korupsi.
Demokrasi yang muncul di akhir abad
ke-18 di Barat melihat pejabat sebagai orang yang diberi wewenang atau otoritas
(kekuasaan), karena dipercaya oleh umum. Penyalahgunaan dari kepercayaan
tersebut dilihat sebagai penghianatan terhadap kepercayaan yang diberikan.
Konsep demokrasi sendiri mensyaratkan suatu sistem yang dibentuk oleh rakyat,
dikelola oleh rakyat dan diperuntukkan bagi rakyat.
Pengertian korupsi dalam arti modern
baru terjadi kalau ada konsepsi dan pengaturan pemisahan keuangan pribadi dan
sebagian pejabat sangat penting, sebab seorang raja tradisional tidak dianggap
sebagai koruptor jika menggunakan uang negara, karena raja adalah negara itu
sendiri. Namun secara tidak sadar sebenarnya konsepsi tentang anti korupsi
sudah ada sejak lama, bahkan sebelum pemisahan kekuasaan politik secara modern
dikenal. Justru dimana tidak adanya pemisahan antara keuangan dari raja/pejabat
negara dengan negara itulah yang memunculkan konsepsi anti korupsi.
b.
Realita
Praktek KKN di Indonesia
Praktek
KKN di Indonesia tergolong cukup tinggi. Dari data yang ada, diketahui ada
beberapa kasus yang cukup mencolok dengan nominal kerugian negara yang cukup
besar. Sebut saja kasus Dana BLBI yang sampai saat ini sudah berlangsung hampir
10 tahun. Kasus lainnya yaitu Letter of Credits fiktif yang merugikan negara
samapi sebesar 1,7 Trilyun.
c.
Komisi Pemberantasan Korupsi
1 .
Sejarah Pembentukan dan Kinerja KPK
Komisi
Pemberantasan Korupsi atau KPK pada dasarnya dibentuk dengan tujuan untuk
memberantas tindak pidana korupsi secara efektif dan efisien. KPK ini merupakan
lembaga negara yang bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan
manapun, termasuk didalamnya proses penuntutan. KPK dibentuk dengan UU Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Presiden SBY
dalam program 100 hari kerja pada masa pemerintahannya periode lalu memasukan
pemberantasan korupsi dalam skala yang penting mengingat tindak pidana korupsi
dari tahun ke tahun terus meningkat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang
tidak terkendali membawa kendala dalam pembangunan nasional karena korupsi pada
intinya adalah pencurian terhadap kas negara. Dan karena itu, tindak pidana
korupsi bukanlah hanya kejahatan biasa melainkan kejahatan luar biasa.
2 .
Tugas dan Wewenang KPK
Menurut
ketentuan Pasal 6 UU Nomor 32 Tahun
2002, Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas yaitu :
-
Koordinasi
dengan instantsi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
-
Supervise
terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
-
Melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
-
Melakukan
tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
-
Melakukan
monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Sedangkan wewenang dari KPK adalah :
-
Mengkoordinasikan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
-
Menetapkan
system pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
-
Meminta
informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi
yang terkait;
-
Melaksanakan
dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yag berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
-
Meminta
laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
a.
Benturan Terhadap Penuntutan KPK dan
Kejaksaan
Kewenangan
melakukan penuntutan ini diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Dalam
Pasal 6, KPK memiliki tugas antara lain salah satunya adalah melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Dalam
prakteknya, tidak hanya KPK saja yang melakukan penyelidikan dan penyidikan
karena diatur dalam Pasal 14 bagian g bahwa Kepolisian bertugas untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan
terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Pengkajian ini
bertujuan untuk mengetahui pertama, bagaimana eksistensi Kejaksaan RI dalam melaksanakan supremasi di bidang
penuntutan sehubungan dengan sistem peradilan pidana terpadu; Kedua,
Kendala apa saja yang dihadapi oleh Kejaksaan dengan adanya lembaga lain yang
memiliki kewenangan penuntutan yang sama dengan Kejaksaan; ketiga,
Indikator apa saja yang dapat dijadikan acuan untuk meningkatkan supremasi
Kejaksaan agar menjadi satu-satunya lembaga pemerintah pelaksana kekuasaan
negara yang mempunyai tugas dan wewenang di bidang penuntutan
Hasil
Pengkajian ini menunjukkan bahwa :
1.
Bahwa
eksistensi kewenangan penuntutan oleh Kejaksaan dalam sistem hukum nasional
dapat dilihat dari:
- Undang-undang Dasar 1945 yang mengatur secara implisit keberadaan Kejaksaan RI dalam sistem ketatanegaraan, sebagai badan yang terkait dengan kekuasaan kehakiman (vide Pasal 24 ayat 3 UUD 1945 jo. Pasal 41 UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman), dengan fungsi yang sangat dominan sebagai penyandang asas dominus litis, pengendali proses perkara yang menentukan dapat tidaknya seseorang dinyatakan sebagai terdakwa dan diajukan ke Pengadilan berdasarkan alat bukti yang sah menurut Undang-undang, dan sebagai executive ambtenaar pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan dalam perkara pidana.
- Pasal 1 butir 13 KUHAP yang menegaskan bahwa Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan penuntutan.
- Pasal 2 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang menempatkan posisi dan fungsi kejaksaan dengan karakter spesifik dalam sistem ketatanegaraan yaitu sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun.
2.
Bahwa pada
kenyataannya dalam pelaksanaan kewenangan penuntutan oleh Kejaksaan sering
timbul permasalahan antar lembaga penegak hukum lainnya dalam hal:
- Koordinasi berkas perkara antara Kejaksaan dan penyidik Kepolisian pada tahap prapenuntutan.
- Pertanggungjawaban penguasaan penahanan antara Kejaksaan dan Pengadilan terhadap status pengalihan penahanan selama pemeriksaan di persidangan dan peralihan pada saat pelimpahan berkas perkara ke pengadilan.
- Dualisme kewenangan penuntutan antara Kejaksaan dan KPK terhadap perkara tindak pidana korupsi.
3.
Bahwa
permasalahan tersebut terjadi karena masih adanya tumpang tindih konsepsi yang
berhubungan dengan tugas dan kewenangan Kejaksaan yaitu:
- Sistem peradilan pidana terpadu yang dianut dalam KUHAP menimbulkan permasalahan sehubungan dengan kewenangan penuntutan Kejaksaan dan subsistem penegakan hukum lainnya yaitu Kepolisian dalam hal penyidikan dan Pengadilan dalam proses peradilan.
- Kedudukan Kejaksaan dalam konteks hukum nasional berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI menempatkan lembaga ini berada di lingkungan eksekutif yang menyebabkan Kejaksaan tidak mandiri dan independen.
- Pengurangan dan pembatasan kewenangan oleh Undang-undang, baik di bidang penyidikan maupun dalam bidang penuntutan. Hal ini dapat dilihat dengan terbentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Keppres No 266/M/2003 sebagai tindak lanjut Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 yang memiliki kewenangan yang demikian besar, berdampak terhadap struktur ketatanegaraan yang semakin membengkak, yang mengesampingkan asas dominus litis (sebagai pengendali proses perkara) dan prinsip een on deelbaar (Kejaksaan satu dan tidak terpisah-pisah).
4.
Bahwa apabila
mengacu pada tugas dan kewenangan Kejaksaan di berbagai macam sistem penuntutan
yang berlaku di berbagai negara, maka dapat dilihat Jaksa sangat berperan aktif
dalam proses penyidikan hingga penuntutan sebagai berikut:
a. Sistem Anglo Saxon
a. Sistem Anglo Saxon
Dalam sistem ini meski secara teoritis polisi dan kejaksaan memiliki
kewenangan masing-masing, namun polisi yang melakukan penyelidikan perkara
diwajibkan melaporkannya kepada jaksa sedini mungkin, serta memerlukan
persetujuan jaksa untuk melakukan penuntutan tersebut. Sehingga dalam
prakteknya, polisi harus mematuhi nasihat jaksa mengenai pengumpulan
bukti-bukti tambahan dari awal agar perkara yang diselidikinya membuahkan hasil
seperti yang diharapkan. Selain itu polisi juga harus mematuhi keputusan jaksa
untuk menghentikan penyidikan karena penuntutannya akan dihentikan. Negara yang
menerapkan sistem ini adalah negara-negara persemakmuran bekas jajahan Inggris
seperti Selandia Baru, Australia, Kanada, Malaysia, dan Singapura.
b. Sistem Anglo American
Dalam sistem ini jaksa merupakan satu-satunya pejabat yang paling berkuasa
dalam sistem peradilan pidana karena jaksa memiliki pengaruh yang sangat besar
dan berarti sekali terhadap tindakan pejabat peradilan pidana yang manapun.
Selain itu, kewenangan jaksa untuk menuntut atau tidak menuntut serta untuk
menerima pengakuan tersangka agar memperoleh dakwaan yang lebih ringan (plea
guilty) benar-benar sangat menentukan. Sedangkan di dalam perkara yang sangat
berat seperti pembunuhan, jaksa memimpin penyelidikan baik secara perseorangan
atau bersama-sama dengan polisi mendatangi tempat kejadian tindak pidana.
Negara yang menerapkan sistem ini adalah Amerika Serikat.
c. Sistem Eropa Kontinental
Dalam sistem ini jaksa merupakan tokoh utama dalam penyelenggaraan
peradilan pidana karena memainkan peranan penting dalam proses pembuatan
keputusan. Meskipun dalam pelaksanaan di lapangan polisi memiliki kemampuan
yang handal dalam proses pengumpulan bukti-bukti di tempat kejahatan, akan
tetapi tetap saja tergantung pada nasihat dan pengarahan jaksa. Hal ini
disebabkan karena jaksa lebih mahir dalam masalah yuridis dan memiliki hak
utama yang eksklusif dalam menghubungi pengadilan. Bahkan di negara-negara yang
menganut sistem ini, dimana jaksa tidak melakukan penyidikan sendiri, jaksa
tetap memiliki kebijaksanaan penuntutan yang luas untuk menetapkan apakah akan
menuntut atau tidak menuntut hampir segala perkara pidana. Contoh negara-negara
yang menerapkan sistem ini beserta variasinya adalah Jerman, Portugal, Spanyol,
Belanda, Perancis dan beberapa negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin bekas
jajahan negara-negara Eropa Kontinental.
5.
Bahwa hal lain
yang dapat juga dijadikan acuan dalam permasalahan dualisme kewenangan
penuntutan di Indonesia adalah tugas dan kewenangan lembaga-lembaga
pemberantasan korupsi di berbagai negara yang memiliki tujuan yang sama untuk
melakukan pemberantasan korupsi seperti KPK di Indonesia, hanya saja
kewenangannya hanya sampai tahap penyidikan dan selanjutnya Kejaksaan yang berwenang
untuk menentukan apakah perkara yang disidik tersebut dapat atau tidak untuk
diajukan penuntutan ke pengadilan. Kewenangan lembaga-lembaga tersebut telah
sesuai dengan ketentuan Article 6 United Nations Concention Against Corruption
yang menyebutkan bahwa pembentukan badan independen di setiap negara dalam
rangka pemberantasan korupsi adalah sebagai sarana untuk tindakan pencegahan,
akan tetapi kewenangan KPK di Indonesia yang dapat juga melakukan penuntutan
melampaui apa yang diatur dalam konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut.
Sebagai contohnya dapat dilihat sistem kerja atau kewenangan komisi
pemberantasan korupsi di negara-negara tetangga Indonesia yaitu Singapura,
Malaysia dan Australia sebagai berikut:
- Corruption Practices Investigation Bureau (CPIB) di Singapura CPIB merupakan sebuah badan pemberantasan korupsi independen yang bertanggung jawab untuk melakukan investigasi dan tindakan preventif korupsi yang berada di Singapura. Kedudukan badan ini langsung di bawah Perdana Menteri dan dalam melaksanakan tugasnya mempunyai kewenangan menentukan sendiri siapa yang akan dituduh. Meskipun tugas utamanya adalah melakukan investigasi atas kasus-kasus korupsi di lingkungan pemerintah dan swasta, tetapi untuk melakukan penuntutan yang melakukannya adalah Kejaksaan Singapura atau Attorney General Chamber (AGC). Selanjutnya AGC akan menelaah secara detail berkas yang diajukan CPIB untuk diajukan ke pengadilan. Apabila tidak cukup bukti, kasus tersebut disarankan oleh AGC ke CPIB untuk dialihkan ke proses berdasarkan ketentuan administratif pegawai negeri, misalnya dikategorikan sebagai kasus pelanggaran disiplin.
- Badan Pencegah Rasuah (BPR) di Malaysia BPR dibentuk dengan tujuan untuk menghapuskan segala bentuk korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilarang oleh ketentuan perundang-undangan di Malaysia. Ketua badan ini berada di bawah Perdana Menteri serta memiliki kantor pusat dan cabang di setiap negara bagian. Dalam pengajuan tuntutan ke pengadilan, BPR harus mendapat ijin dari pihak Jabatan Peguam Negara (Jaksa Agung Malaysia) yang memiliki kewenangan penuh untuk memutuskan apakah kasus tersebut diteruskan ke pengadilan atau tidak.
- Independent Commission Against Corruption (ICAC) di Negara Bagian New South Wales, Australia. ICAC dibentuk berdasarkan Undang-Undang Komisi Independen Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tahun 1988 atau Independent Commission Against Corruption Act 1988 yang bertujuan untuk melindungi kepentingan umum, mencegah dilanggarnya kepercayaan masyarakat dan sebagai pedoman kinerja bagi pegawai pemerintahan. ICAC dipimpin oleh Commissioner yang diawasi oleh Inspector yang ditunjuk oleh gubernur dan melaporkan hasil kerjanya setiap tahun kepada Parlemen. Tiga tugas utama lembaga ini adalah untuk melakukan penyidikan dan mempublikasikan tindak pidana korupsi, melakukan pencegahan korupsi secara aktif dan mendidik masyarakat luas tentang korupsi beserta akibat-akibatnya. Hasil penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh ICAC dituangkan dalam bentuk laporan yang disertai rekomendasi. Laporan ini dikirimkan kepada Parlemen dan Jaksa Agung (Director of Public Prosecutions). Jaksa Agung yang nantinya akan menentukan apakah kasus yang diselidiki oleh ICAC dapat atau tidak dilakukan penuntutan, serta membawanya ke pengadilan apabila dapat dilakukan penuntutan.
Hal ini juga bertentangan dengan ketentuan Article 6 United Nations Concention Against
Corruption. Kewenangan KPK yang tertuang dalam
Pasal 40 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 yang menyatakan lembaga ini tidak berwenang
mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan/Penuntutan juga tidak
menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) dan kepastian hukum yang berwenang
menghentikan penyidikan dan penuntutan apabila dalam tahap tersebut ada
tersangka/terdakwa yang perkaranya ditangani KPK tiba-tiba meninggal dunia atau
tidak mampu bertanggung jawab secara permanen.
Bab III
Penutup
a.
Kesimpulan
Berdasarkan
paparan di atas maka kesimpulan yang dapat diambil adalah:
- KPK secara hukum dapat melakukan tindakan penyelidikan, penyidikan maupun penuntutan atas perkara-perkara Tindak Pidana Korupsi yang terjadi sebelum berlakuknya UU KPK bahkan sebelum berlakunya UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.
- Untuk membuktikan unsur melawan hukum KPK tetap dapat menggunakan doktrin Ajaran Melawan Hukum Materil dalam Fungsi Positif maupun Yurisprudensi Mahkamah Agung.
b.
Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas maka dapat disarankan:
- Kehadiran KPK selaku super body di Indonesia dengan kewenangan yang sangat luas adalah telah melampaui batas sebagai badan independen sebagai sarana untuk tindakan pencegahan dalam rangka pemberantasan korupsi sesuai yang ditetapkan dalam Article 6 United Nations Concention Against Corruption (UNAC), oleh karena itu kewenangan penuntutan oleh KPK agar dihapuskan sehingga kekuasaan penuntutan benar-benar hanya ada di Kejaksaan.
- Dalam rangka pembaharuan hukum pidana, diharapkan penegak hukum mampu meninjau ulang tugas menuntut pada Komisi Pemberantasan Korupsi dan tugas menuntu pada Kejaksaan sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan atau dualism kewenangan.
No comments:
Post a Comment